Saturday 17 May 2014

Hujan di Pasola

Dalam sejarahnya, baru kali ini Pasola di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, diwarnai hujan deras sepanjang hari. Matahari hanya muncul dalam hitungan menit. Gerutu, umpatan hingga makian, ditujukan peserta dan warga kepada Rato, sang Pemimpin Adat yang dianggap sudah merusak tradisi dan adat karena salah menghitung tanggal pelaksanaan pasola. Tradisi turun temurun ini pun berakhir dengan ricuh antar warga.

Jumat di akhir bulan januari 2014, hampir setengah pesawat dari Denpasar menuju Tambolaka dipenuhi turis asing dengan satu tujuan, melihat Pasola. Seorang pemuda pribumi mencoba memberikan kursinya di bus angkutan penumpang, kepada seorang turis wanita paruh baya. Dengan kosa kata yang seadanya si pemuda meyakinkan wanita itu, “Easy, Ma’am. I’m a man and must be stronger!’ (tenang saja nyonya, saya pria pastinya harus kuat!)
Wanita paruh baya asal Jerman itu tertawa dan duduk sambil mengucapkan terima kasih. Sementara teman pemuda itu, seorang perempuan lokal menyapa ramah turis asing itu dan memberikan informasi seputar sejarah Pasola di pulau Sumba dengan bahasa inggris yang lumayan fasih.
Singkat cerita, pesawat mendarat mulus di Bandar udara Tambolaka, Sumba Barat. Tapi baru saja menjejakkan kaki di tanah Sumba, para penumpang harus segera masuk ke dalam ruang tunggu bandara karena hujan dan angin kencang menyambut dengan sempurna. Sepasang suami istri dari mancanegara menyatakan kekhawatirannya kepada saya, bila pasola esok hari diwarnai hujan deras. Saya hanya tersenyum seraya berujar, “Semoga besok matahari bersinar cuaca cerah.”

Memulai Ritual Tanpa ‘ Nyale
Tapi kekhawatiran pasutri itu seakan menjadi nyata. Keesokan harinya, matahari seakan enggan menampakkan diri sejak pagi hari. Satu per satu turis yang rata-rata berasal dari mancanegara naik mobil sewa atau travel menuju pantai Wekurei untuk menyaksikan ritual Rato mencari ‘Nyale’ sebelum Pasola dimulai.
Hujan sempat berhenti, meski matahari tetap enggan memberikan sinar hangatnya. Di salah satu bibir pantai, ada celah rawa dengan latar belakang tebing yang ditutupi rimbun pepohonan dan tanaman rambat, yang sudah ramai oleh para Rato, kepala adat dengan ciri khas ikat kepala dari kain merah.
30 menit berlalu, 9 Rato tak kunjung memulai ritual mencari ‘nyale’, binatang yang disebut juga cacing wawu dan dipercaya berasal dari perairan Australia, yang cuma singgah ke perairan sumba sebagai penentu jadwal purnama dan dimulainya Pasola. Beberapa turis mencoba menghabiskan waktu dengan mengabadikan pemandangan karang di sudut tepi pantai. Tapi cuaca tak mau bersahabat. Beberapa kali gerimis datang, hingga berujung pada hujan deras yang membuat sejumlah turis memilih kembali ke mobil dan langsung menuju lapangan Pasola.
Sekilas saya melihat ada tour guide yang menghampiri para Rato untuk bertanya kepastian ritual. Tapi Rato menjawab seadanya. Bahkan ada yang berujar menginginkan pengunjung mengisi uang ke dalam sebuah tas anyaman milik seorang Rato supaya acara bisa berlangsung. Beberapa turis menuruti permintaan itu, tapi mereka hanya mendekati para Rato agar bisa berfoto dari dekat. Sebagian turis yang memilih kembali ke mobil mereka dan langsung menuju lapangan karena hujan turun semakin deras.

Pasola dan Romansa Cinta Segi Tiga
Pasola diambil dari kata Hola atau Sola yang berarti kayu lembing, alat yang digunakan para penunggang kuda dalam pertarungan Pasola. Tapi dibalik pertarungan dua kubu dalam Pasola, tersimpan kisah romansa yang mengawali pertandingan tradisi 3 kecamatan di Sumba Barat ini. Alkisah seorang puteri, Rabu Kabba menikah dengan pemuda asal Wanokaka, Umbu Dulla. Ketika Umbu Dulla melaut dan tak kunjung pulang hingga dipercaya hilang ditelan lautan, Rabu Kabba masih setia menanti. Namun perahu besar yang kembali adalah milik Teda Gaiparona, pemuda asal Kodi yang kemudian jatuh hati pada paras Rabu Kabba. Keduanya pun menjalin persahabatan dan jatuh cinta. Karena adat yang ketat melarang hubungan ini, dua insan ini pun kawin lari hingga ke arah Lamboya.
Suatu hari Umbu Dulla kembali pulang dan mendapati istrinya telah pergi bersama lelaki lain. Ia pun mencari ke tiga wilayah hingga ketika bertemu istrinya, Ubu memahami cintanya belum padam dan mengajak istrinya pulang. Namun Rabu Kabba merasa malu dan ternoda, menolak untuk kembali. Dengan kebesaran hati, Umbu Dulla mempersilakan istrinya pergi asalkan Teda Gaiparona bersedia menikahi Rabu Kabba dan membayar Belis (mas kawin) sama dengan yang pernah diberika Umbu Dulla kepada Rabu Kabba.
Selain membayar Belis seperti tombak kayu dan gong (kini masih tersimpan di Wanokaka) keluarga Teda Gaiparona memberikan ‘Nyale’, cacing laut warna warni yang mewakili simbol kesuburan, sebagai bentuk penghormatan kepada Umbu Dulla. Sedangkan Pasola, merupakan ritual adat perang menggunakan tombak kayu untuk memperingati kisah romansa cinta segi tiga Ubu, Rabu dan Teda.
 
Lamboya, Pasola di Pebukitan Savana

Pasola di daerah Lamboya, Sumba Barat, NTT, diadakan di sebuah bukit yang disebut warga “Hobakala” yang berasal dari kata Hoba yang artinya Danau dan Kala yang artinya Besar. Tempat ini akan memanjakan mata anda yang memuja padang savana hijau nan luas dengan kontur tanah pebukitan, lengkap dengan ornament kubur batu di beberapa puncak bukit yang juga menawarkan pemandangan Laut Wanokaka lengkap dengan horizon yang membatasi tipis antara laut, langit dan awan. Sempurna.
Bukit Hobakala di Lamboya patut menjadi rekomendasi sekaligus tempat aman bagi para fotografer maupun pelancong yang hendak mengabadikan peristiwa pertarungan dua joki kuda peserta Pasola. Bayangkan saja, puluhan peserta berkuda sambil membawa tombak di tangan kanannya, sementara dengan tangan kiri mengekang tali kemudi, memacu kuda dari dua arah yang berlawanan dan mencari lawan masing-masing berhadap-hadapan sebelum salah satu atau keduanya memutuskan untuk melempar tombak ke arah lawan.
Dengan kontur lapangan mirip cekungan, penonton setidaknya merasa aman berada di bibir cekungan savana yang lebih tinggi dari arena pertarungan. Berikut pilihan latar belakang pertandingan pebukitan savana nan terbentang luas.

Pukul 9 sabtu pagi, bukit Hobakala sudah ramai oleh warga, turis yang didominasi dari mancanegara, hingga iring-iringan peserta. Satu per satu rombongan peserta beriringan memacu kuda memasuki arena. Ringkikan kuda bersahutan dengan pekik sang joki yang mengenakan ikatan kain tenun di pinggang yang kerap dilengkapi dengan parang Sumba. Selama beberapa menit pengunjung terlena dengan tradisi peperangan yang hanya berlangsung setahun sekali ini.
Arena mulai panas. Peserta yang tadinya hanya melakukan pemanasan dengan berlari memacu kuda, mulai mencari lawan masing-masing dan melempar tongkat kayu ke arah lawan yang dituju. Ketika tongkat mengenai kuda ataupun joki, si pelempar akan berteriak senang. Apalagi bila sang lawan berhasil jatuh dari kudanya. Pekikan kemenangan joki bersahutan dengan sorak sorai penonton. Tapi kemeriahan ini tak berlangsung lama.
Sekitar satu jam kemudian, langit mulai mendung dan sesekali rintik hujan mulai turun. Peserta dan penonton masih bertahan, termasuk aparat keamanan yang masih berjaga menghalau peserta berperang keluar arena cekungan danau karena bisa membahayakan penonton.
Pasola tak jarang memakan korban. Tradisi ini tadinya menggunakan tongkat atau tombak kayu dengan ujung besi yang runcing dan bisa mematikan lawan. Tombak ini pun kemudian diganti dengan tongkat kayu atau dari bambu. Meski dalam praktiknya tongkat kayu ini juga acapkali membuat peserta cacat, seperti patah tangan atau kaki, hingga ada yang buta.
Rata-rata peserta dibatasi umurnya yaitu minimal 15 tahun. Tapi ada juga pasola yang diikuti peserta anak-anak berusia 10 tahun. Selain Lamboya, sekaligus merujuk kepada kisah pasola, tradisi perang ini pun bisa disaksikan di wilayah Wanokaka dan Kodi dalam kurun waktu februari hingga maret.

Hujan, Pertanda Buruk di Pasola
Sepanjang sejarah tradisi Pasola, baru pertama kali terjadi hujan deras yang tak kunjung berhenti ketika arena tengah panas dengan pertandingan. Penonton dan peserta kocar kacir menyelamatkan diri berteduh di bawah tribun ataupun tenda bambu seadanya. Langit dan awan terlihat tak mau bersahabat dengan menutup bukit dengan warna kelam yang merata. Seorang turis wanita yang berteduh bersama saya di bawah tenda bambu dan paying saya tertawa miris mendapati dirinya kehujanan basah kuyup dan hanya sempat membungkus kameranya dengan kantung plastik seadanya. “Kenapa bisa hujan ya?” ujarnya dengan sambil tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya turis yang mengaku fotografer itu sangat fasih berbahasa Indonesia karena sudah 8 tahun tinggal di Bali.
Satu per satu warga maupun aparat keamanan yang berteduh di bawah tenda bambu yang sama dengan kami mengeluarkan umpatan dan makian kepada Rato, kepala adat, yang dianggap mengacaukan Pasola. Rato seharusnya tidak pernah salah hitung hari pelaksanaan. Hujan deras di hari H pasola dianggap pertanda buruk Rato tak lagi murni mengabdi bagi tradisi dan adat.
Suara warga lain membuka kabar bahwa pemerintah telah mampu membujuk Rato untuk memajukan hari pelaksanaan Pasola dari yang telah ditetapkan. Ada juga yang menimpali bahwa ada 1 dari 9 Rato yang bersikeras dan bisa mempengaruhi lainnya untuk memajukan pelaksanaan Pasola. Ada pula yang menyindir bahwa Rato tak berani menampakkan diri selama acara pasola berlangsung. Padahal bila terjadi rusuh, Rato punya pengaruh lebih besar daripada tembakan peringatan aparat keamanan sekalipun untuk menenangkan warga. Hujan pun semakin deras mengguyur bumi savana Lamboya.
Sejam kemudian, hujan berganti gerimis. Satu per satu peserta kembali memasuki arena. Matahari mulai malu-malu bersinar diselingi awan hitam yang hilir mudik di langit Lamboya. Pasola kembali berlangsung. Kamera pun kembali sibuk diarahkan kepada puluhan peserta pasola. Suasana mulai panas ketika peserta mulai saling serang dengan melemparkan tombak kayunya ke arah lawan. Teriakan dan acungan kepal tangan ke langit, menjadi pertanda ajakan perang atau kemenangan menghadang lawan. Tapi tiba-tiba puluhan penonton berlari menjauh dari arena ke arah salah satu puncak bukit. Seorang diantaranya berteriak, “Hujan datang…!!”
Puluhan turis pun segera masuk ke dalam mobil guna mengamankan diri dari hujan. Tapi tak berapa lama bukan hujan air saja yang turun, tapi deru tembakan dari aparat keamanan hingga hujan batu terlihat di atas bukit. Dua kelompok orang saling kejar dengan lemparan batu. Satu sisi bukit dilerai, dua kelompok ini pun berpindah ke sisi bukit yang lain. Dari salah satu balik bukit kami terjebak tidak bisa keluar karena satu-satunya jalan harus melewati arena pertandingan yang tengah penuh dengan massa yang berusaha menyelamatkan diri. Sementara di satu sisi bukit ratusan warga saling bertahan perang batu.
Pasola pun dibubarkan paksa oleh aparat keamanan dengan deru rentetan tembakan peringatan.
Sementara para pedagang dadakan pun terpaksa menggulung tenda dan mengangkut kembali dagangannya yang belum laku tapi justru ada yang rusak karena terkena derasnya curah hujan. Tahun ini Pasola seakan mendatangkan rugi bagi para pengais rezeki musiman ini.
Jalan pulang pun macet total dengan tidak ada satu pun aparat yang berjaga ataupun mengatur lalu lintas. Kemacetan terjadi hingga polsek dan kantor kecamatan lamboya. Sesaat kami memutar haluan menuju sebuah hotel, milik warga negara Perancis, mister Ali. Disini kami bertemu dengan seorang tokoh sekaligus warga asli Sumba, Umbu Samapaty yang bersedia mendengar keluh kesah kekecewaan kami karena gagalnya Pasola di Lamboya tahun ini.
“Akan ada sidang bagi Rato karena untuk pertama kalinya turun hujan di Pasola. Ini gagal total.” Ujarnya lirih. Hujan di Pasola tidak hanya membuat kecewa tapi juga malu warga sumba terhadap para tamu dan peserta yang datang. Tidak sedikit kendaraan yang baru tiba dan hendak menuju arena pasola terpaksa harus menahan kecewa karena acara sudah selesai sebelum waktunya.

Hujan bisa jadi berkah bagi ladang tandus di musim kemarau. Tapi bagi Pasola, hujan adalah pertanda bahwa alam tidak bisa diatur seenaknya oleh manusia karena alam sudah memberikan pertanda. Sementara manusia diberikan akal untuk berpikir dan berhitung kapan waktu tepat untuk bersahabat dengan alam.

2 comments: